Tuesday, 9 September 2014

Rancangan (tugas kuliah) : PROGRAM PEMANTAUAN DAN PENCEGAHAN PERKEMBANGAN MERS-CoV DI INDONESIA DENGAN MENGGUNAKAN APLIKASI BIOINFORMATIKA SEBAGAI AGEN DIAGNOSA

Oleh : Maroloan Aruan

TUJUAN PROGRAM
Tujuan Umum
1)Memutus rantai pemularan dan penyebaran virus Mers-CoV di Indonesia dan dari luar Indonesia (baik dari wisatawan atau WNI yang akan pulang ke Indonesia) sehingga dapat meminimalisir kasus kematian.
2)Mendeteksi secara dini kasus Mers-CoV

Tujuan Khusus
1)Mengkaji karakteristik klinis dan epidemiologi Mers-CoV
2)Mengkaji karakteristik molekular Mers-CoV
3)Membandingkan karakteristik klinis dan epidemiologi Mers-CoV dan karakteristik molekular Mers-CoV untuk mengetahui pola perubahan behavior Mers-CoV

1.LATAR BELAKANG
1.1 Coronavirus dan MERS-CoV
Coronavirus adalah salah satu spesies dalam genus salah satu dari dua subfamili Coronavirinae dan Torovirinae dalam keluarga Coronaviridae. Coronaviruses adalah virus yang memiliki pembungkus (enveloped) dengan genom RNA sense positif serta nukleokapsid heliks yang simetri. Ukuran genom coronaviruses berkisar dari sekitar 26-32 kilobasa, merupakan ukuran yang sangat besar untuk virus RNA (de Groot, et al., 2011). Salah satu jenis coronavirus yang saat ini sedang berkembang di Timor Tengah adalah MERS -CoV.

Gambar 1. Skematik MERS-CoV oleh Dr Ian M Mackay

Middle East Respiratory Syndrome (MERS) adalah penyakit pernapasan yang disebabkan oleh virus jenis coronavirus yang pertama sekali dilaporkan menyebar ini Arab Saudi pada bulan September tahun 2012. Virus ini pada awalnya diidentifikasi dari sampel yang diperoleh dari pasien Arab Saudi yang mengalami infeksi pernafasan akut dan kemudian mengalami gagal ginjal akut lalu meninggal (Zaki, et al. 2012). Penyakit ini disebabkan oleh coronavirus yang disebut sebagai Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus (MERS -CoV). Menurut Kementrian Kesehatan RI (www.depkes.go.id) MERS -CoV disebut sebagai “novel coronavirus” atau “nCoV”. Virus ini berbeda dengan coronavirus lainnya yang telah ditemukan sebelumnya. Kebanyakan orang yang telah dikonfirmasi terinfeksi MERS -CoV mengalami penyakit pernapasan akut parah, demam, batuk, dan sesak napas dan lebih dari 30% dari orang-orang yang terinfeksi MERS akan meninggal (de Groot, et al., 2013). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Asiri, et al (2013) infeksi MERS-CoV dikaitkan dengan angka kematian yang tinggi, dengan persentasi kematian lebih dari 50% kematian di antara pasien yang didiagnosis terinfeksi MERS, selain itu tingkat fatalitas MERS (tingkat kematian) akan naik sesuai dengan bertambahnya usia, yaitu 39% pada pasien dengan usia dibawah 50 tahun, 75% dalam kasus pada usia diatas 60 tahun.

1.2 Perkembangan MERS -CoV secara Global

Sejauh ini, semua kasus MERS-CoV dikaitkan dengan negara-negara di Jazirah Arab (Arabian Peninsula). Virus ini menyebar dari orang sakit ke orang sehat melalui kontak dekat, misal saat merawat orang yang terinfeksi MERS. Pada tanggal 2 Mey 2014, kasus pertama MERS di Amerika Serikat telah dikonfirmasi pada seorang pelancong dari Arab Saudi ke Amerika Serikat yang terinfeksi MERS. Lalu, melalui pengobatan akhirnya pelancong dianggap sepenuhnya pulih dan telah keluar dari rumah sakit. Petugas kesehatan masyarakat telah menghubungi petugas kesehatan, anggota keluarga, dan wisatawan yang memiliki kontak dekat dengan pasien dan tidak ada kontak dengan penderita telah terbukti yang terinfeksi dengan MERS-CoV. Centers for Disease Control and Prevention, Amerika Serikat (CDC) dan mitra kesehatan masyarakat yang lain terus menyelidiki dan menanggapi perubahan situasi untuk mencegah penyebaran MERS-CoV di AS. Kasus ini merepresentasikan resiko kesehatan yang sangat rendah untuk masyarakat di negara ini.
Negara yang telah dikonfirmasi memiliki kasus MERS di Jazirah Arab antara lain : Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, Oman, Yordan, Kuwait, Yaman, dan Libanon. Sedangkan negara dengan kasus travel-associated : Inggris, Prancis, Tunisia, Itali, Malaysia, dan Turki (menurut hasil observasi Centers for Disease Control and Prevention, Amerika Serikat). Badan kesehatan dunia (World Health Organization/ WHO) belum menyatakan kasus Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus (MERS-CoV) sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB). Sejak bulan April-Juni 2013, jumlah penderita yang terinfeksi MERS-CoV di dunia tercatat sebanyak 64 kasus (Saudi Arabia 49 kasus, Italia 3 kasus, United Kingdom 3 kasus, Perancis 2 kasus, Jordania 2 kasus, Qatar 2 kasus, Tunisia 2 kasus, dan Uni Emirat Arab 1 kasus) serta dengan 38 kematian.

Gambar 2. Negara yang telah di konfirmasi memiliki kasus MERS (warna hijau)

1.3 Perkembangan MERS -CoV di Indonesia

Bagi negara Indonesia sebagai pengirim jemaah haji terbesar sepanjang tahun, resiko terkena serangan MERS-CoV berpotensi pada jemaah usia lanjut, wanita hamil dan anak-anak yang melakukan umroh atau naik haji. Sehingga pihak Menteri Keagamaan telah mengimbau agar jemaah lanjut usia tidak dianjurkan melaksanakan ibadah umroh. Kasus MERS di Indonesia sejauh ini sudah enam orang pasien suspect yang dirawat di rumah sakit RSUP M Djamil, Padang, Sumatera Barat (Pemberi Informasi dan Dokumentasi/ PPID RSUP M Djamil). Sehingga dengan kejadian ini, dilakukan penetapan berdasarkan surat edaran Kemenkes RI tentang virus MERS-CoV yang menjadi prioritas utama.
Selain di Padang, di Jember seorang perempuan diduga terinfeksi virus Middle East Respiratory Syndrome Corona Virus (MERS-CoV) yang kini tengah dirawat di RSUD dr Soebandi, Kabupaten Jember, Provinsi Jawa Timur. Pasien ini mengalami demam panas tinggi, batuk-batuk dan sesak nafas setelah pulang dari menjalani umroh.

1.4 Penelitian terhadap MERS -CoV

Mengingat perkembangan MERS yang masih baru, investigasi mengenai pola penularan MERS-Cov masih terus dilakukan. Kontak dari pasien yang terinfeksi kepada petugas kesehatan yang merawat dan terhadap orang terdekat masih terus diamati. Pengamatan lebih mendalam yaitu cluster dari kasus infeksi MERS-Cov di Arab Saudi, Jordania, Inggris, Prancis, Tunisia, dan Italia juga dilakukan. Sehingga sampai saat ini belum ada vaksin yang spesifik dapat mencegah infeksi MERS-Cov dan belum ada metode pengobatan spesifik yang dapat menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh MERS-Cov. Perawatan medis hanya bersifat supportive untuk meringankan gejala.

2. PENATALAKSANAAN KASUS MERS -CoV
Uji secara molekular Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk MERS-CoV sudah tersedia di Kementerian Kesehatan dan beberapa laboratorium Internasional, namun tes tersebut bukan tes rutin. Di Indonesia sendiri oleh Kementrian Kesehatan melalui Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehat Lingkungan sudah ada kebijakan mengenai pemeriksaan Laboratorium untuk penyakit Mers-CoV dengan Metoda RT-PCR dan konfirmasi dengan tehnik sekuensing.
Teknik molekular untuk saat ini merupakan pendekatan yang paling baik untuk pencegahan penyebaran MERS-CoV. Melalui program “Pemantauan dan Pencegahan Mers-CoV di Indonesia dengan Menggunakan Aplikasi Bioinformatika sebagai Agen Diagnosa”, metode RT-PCR yang telah diterapkan oleh Kementrian Kesehatan untuk penatalaksanaan kasus Mers-CoV dapat lebih disempurnakan untuk mengetahui (pemantauan) perkembangan Mers-CoV di Indonesia. Pemantauan Perkembangan Mers-CoV ini perlu dilakukan untuk mengkaji penyebab mengapa virus tersebut “tiba-tiba” menjadi ganas, karena dikhawatirkan ada aspek-aspek dalam kehidupan yang memicu coronavirus menjadi “ganas”.
Analisis Mers-CoV dengan teknik Molecular dengan Pendekatan Bioinformatika
Bioinformatika (bioinformatics) adalah ilmu yang mempelajari tentang penerapan teknik komputasional untuk mengelola dan menganalisis informasi biologis (Xiong, 2006). Bidang ini mencakup penerapan metode-metode matematika, statiska, dan informatika untuk memecahkan masalah-masalah biologis, terutama dengan menggunakan sekuens DNA dan asam amino. Bioinformatika menyediakan tool yang sangat penting untuk identifikasi agen penyakit diantaranya yang masih hangat adalah penyakit SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) yang merupakan jenis virus yang sama dengan MERS-CoV. Dengan teknik bioinformatik, kita juga dapat mengetahui jika terjadi perubahan sekuan DNA (mutasi) pada coronavirus.

Pendekatan bioinformatika yang dilakukan untuk analisis Mers-CoV adalah dengan membuat marka genetik sebagai agen diagnosa untuk Mers-CoV dengan tahapan sebagai berikut :

1)Degenerate Marka Genetik (desain Primer)
a.Pengumpulan Data Base genom semua jenis Coronavirus yang dapat diambil melalui GenBank, EMBL (European Molecular Biology Laboratory), dan DDBJ (DNA Data Bank of Japan).
b.Melakukan Alignment dengan software Alignment, ClustalX/ ClustalW untuk mengetahui kemiripan sekuen DNA antar jenis Coronavirus.
c.Dari hasil alignment akan terlihat daerah high conserve sebagai daerah yang digunakan untuk membuat (building) sekuen primer/ oligonukelotida.

2)Analisis perbandingan sekuen DNA Virus MERS dengan DNA coronavirus yang sudah ada di Data Base
a.Isolasi RNA coronavirus dari penderita dari beberapa negara, dan mengubah RNA virus MERS menjadi cDNA dengan teknik reverse transkripsi.
b.Amplifikasi cDNA coronavirus tersebut dengan teknik PCR menggunakan marka genetik/ design primer hasil alignment beberapa genom coronavirus.
c.Untuk mengetahui kemiripan sekuen virus MERS hasil PCR, dilakukan homolgy aligment menggunakan BLAST (Basic Local Alignment Search Tool).
d.Untuk mengetahui sejauh mana virus MERS berbeda dengan virus corona lainnya, digunakan ClustalX.


Referensi :
Anonym. 2014. Middle East Respiratory Syndrome (MERS). http://www.cdc.gov/ CORONAVIRUS/MERS/INDEX.HTML . diakses pada tanggal 13 Mei 2014 pukul 17 : 12 WIB.

Assiri, et al. 2013. Epidemiological, demographic, and clinical characteristics of 47 cases of Middle East respiratory syndrome coronavirus disease from Saudi Arabia: a descriptive study. Lancet Infect Dis ; 13: 752-761.

de Groot, et al. 2013. Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus (MERS-CoV) : Announcement of the Coronavirus Study Group. J Virol ; 87: 7790-7792.

de Groot, et al. 2011. "Family Coronaviridae" Ninth Report of the International Committee on Taxonomy of Viruses. Elsevier, Oxford. pp. 806–828.

Slamet, et al. 2013. Pedoman Umum Kesiapsiagaan menghadapi Middle East Respiratory Syndrome-Corona Virus (Mers-CoV). Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehat Lingkungan. Kementrian Kesehatan RI.

Supriatna, Edy. 2014. Menag nyatakan WHO belum nyatakan MERS-CoV sebagai KLB . http://www.antaranews.com/berita/434037/menag-nyatakan-who-belum-nyatakan-mers-cov-sebagai-klb. diakses pada tanggal 13 Mei 2014 pukul 17 : 05 WIB.

Xiong, Jin. 2006. Essential Bioinformatics. Cambridge University press. Cambridge, New York.
Zaki. et al. 2012. Isolation of a novel coronavirus from a man with pneumonia in Saudi Arabia. N Engl J Med ; 367: 1814-1820.

Monday, 1 September 2014

PENGOPTIMALAN TEKNOLOGI FERMENTASI (PEMANFAATAN MIKROORGANISME) DALAM PETERNAKAN KAMBING

Peternakan Kambing adalah salah satu upaya manusia untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan. Terdapat banyak potensi yang terdapat didalam usaha peternakan kambing. Setidaknya ada beberapa tujuan yang bisa di tempuh, tujuan jangka pendek/harian yakni berupa susu kambing, tujuan jangka menengah/bulanan pupuk kambing, dan tujuan jangka panjang/tahunan yaitu berupa daging dan bibit kambing. Banyak metode yang dikembangkan untuk dapat meningkatkan kualitas hasil peternakan, salah satunya adalah pemanfaatan mikroorganisme. Kehidupan manusia tidak akan pernah lepas dari peranan mikroorganisme terutama dalam bidang fermentasi. Teknologi fermentasi saat ini sedang dikembangkan dalam bidang peternakan, yang memiliki tujuan untuk meningkatkan kualitas hasil ternak dengan sumber daya pakan yang terbatas dengaN fermentasi jerami, memanfaatkan limbah ternak (kotoran) kambing menjadi pupuk organic dan pengolahan susu kambing menjadi produk lain, misalnya yogurt.


a. Pemanfaatan Teknologi Fermentasi Jerami sebagai Pakan Kambing

Salah satu permasalahan yang mungkin dihadapi peternak dalam pengembangan peternakan kambing adalah ketersediaan pakan, terutama pada musim kering/ kemarau dimana sulit untuk memperoleh rumput/ jerami segar. Sehingga, diperlukan suatu solusi dalam mengatasi masalah pakan. Salah satu upaya terobosan yang saat ini sedang dikembangkan adalah dengan menggunakan teknologi fermentasi. Fermentasi adalah proses yang pemanfaatan kemampuan mikroorganisme untuk menghasilkan metabolit primer dan metabolit sekunder dalam suatu lingkungan yang dikendalikan. Dengan teknik fermentasi, pakan hijau yang melimpah saat musim penghujan bisa difermentasi sebagai persediaan pakan (stock), terutama jika pakan hijau berkurang di musim kemarau. Pakan fermentasi mampu memberikan asupan nutrisi yang lebih baik daripada daun hijau biasa. Selain itu biaya produksinya jauh lebih kecil dan lebih praktis. Menurut beberapa penelitian, memberikan pakan fermentasi kepada ternak mempunyai banyak keuntungan, antara lain : meningkatkan nafsu makan sehingga penggemukan semakin cepat, memperbaiki proses pencernaan, lebih kebal terhadap penyakit, meningkatkan produksi susu, mengurangi bau kotoran dan air kencing, kotoran menjadi lebih sedikit karena pakan menjadi tercerna dengan baik dan beberapa peternak membuktikan kasus cacingan menurun semenjak menggunakan pakan fermentasi.

Dalam penerapan teknologi fermentasi, bahan yang digunakan adalah Starbio dan EM4. Starbio merupakan mikroba / bakteri yang berfungsi menguraikan limbah menjadi bahan asal alami yang tidak berbau. Starbio merupakan hasil teknologi tinggi yang berisi koloni mikroba rumen sapi yang diisolasi dari alam untuk membantu penguraian struktur jaringan pakan yang sulit terurai. Adapun koloni-koloni mikroba tersebut terdiri dari mikroba yang bersifat proteolitik, lignolitik, selulolitik, lipolitik dan yang bersifat fiksasi nitrogen non simbiotik (http://www.lembahhijau.com/product.htm). Kumpulan mikroba yg terdapat dalam starbio akan membantu pencernaan pakan dalam tubuh ternak, membantu penyerapan pakan lebih banyak sehingga pertumbuhan ternak lebih cepat dan produksi dapat meningkat. Hasilnya, Feed Convertion Ratio (FCR) atau konversi pakan akan menurun sehingga biaya pakan menjadi lebih murah. EM4 (Effective Microorganisme) adalah biakan bakteri yang biasanya digunakan sebagai aktivator kompos. EM4 pertama kali ditemukan oleh Prof. Teruo Higa dari Universitas Ryukyus, Jepang. Dalam EM4 ini terdapat sekitar 80 genus mikroorganisme fermentor. Mikroorganisme ini dipilih yang dapat bekerja secara efektif dalam memfermentasikan bahan organik. Secara global terdapat 5 golongan yang pokok yaitu: bakteri fotosintetik, Lactobacillus sp, Streptomycetes sp, Ragi (yeast) dan Actinomycetes. Selain jerami, material lain yang bisa di fermentasi untuk makanan ternak antara lain: alang-alang, rumput, pucuk tebu dll. Fungsi urea pada proses pembuatan fermentasi adalah sebagai penyuplai NH3, yang digunakan sebagai sumber energi mikroba dalam poses fermentasi. Jadi urea tidak berfungsi sebagai penambah nutrisi pakan. Bisa juga dikatakan sebagai katalisator dalam proses fermentasi.

Dalam pembuatan jerami fermentasi ini, adalah beberapa tahapan pekerjaan yang harus dilakukan, antara lain : mencari tempat yang berlantai tanah dan kalau bisa teduh (tidak terkena panas dan hujan), lalu menumpukkan jerami padi setebal 20 cm dipadatkan dengan cara diinjak-injak, mencampur Starbio/ EM4 dengan urea dan air, hasil campuran disiramkan ke seluruh permukaan jerami agar merata (jika jerami sudah basah, tidak perlu disiram dengan air, cukup dipercik-percikan dengan larutan starbio/ EM4 dan urea), menumpuk kembali dengan jerami setinggi 20 cm, lalu dipadatkan, mengulangi kembali langkah (3) hingga jerami habis. Bagian paling atas ditutup dengan plastik atau jerami kering. Lalu dibiarkan selama 7-10 hari. Pada hari ke 7 dilakukan pemeriksaan aroma (bau) yang timbul pada tumpukan jerami. Jika aroma jerami sudah berubah beraroma amonia dan serat-serat jerami sudah lunak (periksa dengan cara pegang dan remas-remas) maka proses fermentasi jerami sudah selesai. Jika belum, proses dapat dilanjutkan sampai maksimum 10 hari.

b. Pemanfaatan Teknologi Fermentasi Kotoran dan Urine Kambing sebagai Pupuk Organik
Peternakan kambing umumnya akan menghasilkan volume kotoran kambing yang cukup banyak, namun limbah ternak/ kotoran kambing bisa diolah menjadi pupuk organik. Kandang kambing yang dekat dengan pemukiman akan mengkuatirkan dalam hal kebersihan maupun kesehatan. Namun bila kotorannya bisa diolah menjadi kompos/ pupuk organic, bisa menjadi solusi dalam menyelesaikan penumpukan kotoran kambing. Prinsip pengolahan limbah ternak adalah proses merubah limbah organik (kotoran) menjadi pupuk organik secara biologis dibawah kondisi yang terkontrol. Tujuannya untuk membuat keseimbangan proses pembusukan bahan organik, mengurangi bau, membunuh biji gulma dan organism pathogen sehingga menjadi pupuk yang sesuai dengan kebutuhan lahan pertanian. Apabila kondisi tidak atau kurang terkontrol terjadi pembusukan sehingga timbul bau yang menyengat, timbul cacing dan insecta.

Pupuk organik yang dapat dihasilkan dari limbah ternak ada 2, yaitu pupuk organik cair yang diolah dari urine kambing dan pupuk organik padat yang diolah dari kotoran kambing. Untuk pengolahan urine kambing adalah menggunakan bakteri EM4 dan molase. Tahapan pengolahan urine kambing yaitu : Bakteri EM4 dan Molases dilarutkan dalam air jernih sebanyak 10 liter, kemudian dituangkan ke dalam drum urine, setelah tercampur antara urine dan bahan-bahan, kemudian urine diaduk sampai rata selama 15 menit, kemudian drum plastic ditutup rapat, melakukan pengadukan setiap hari selama 15 menit dan kemudian drum ditutup rapat kembali selama tujuh hari. Setelah tujuh hari urine dipompa dengan menggunakan pompa yang biasa dipakai pada aquarium untuk meniriskan urine dan dilewatkan melalui talang plastik dengan panjang 2m yang dibuat seperti tangga selama 3 jam, tujuan proses ini untuk penipisan atau menguapkankandungan gas ammonia, agar tidak berbahaya bagi tanaman yang akan diberi pupuk bio urine tersebut. Kemudian pupuk cair ini siap digunakan.

Sedangkan untuk pengolahan pupuk organik padat yaitu : menyiapkan tempat atau hamparan yang ternaungi, melakukan proses pencampuran bahan, agar mudah dan merata bisa dilakukan dengan cara membuat lapisan-lapisan. Pembuatan lapisan dengan cara menghamparkan kotoran kambing dan setebal kurang lebih 20-30 cm dan taburkan abu dan decomposer secukupnya. Kemudian menyiapkan EM4 dari dosis yang ditetapkan yang dilarutkan dalam air kemudian disiramkan pada lapisan tersebut hingga kadar air mencapai 40%. Membuat lapisan berikutnya hingga semua bahan habis, kemudian lapisan tersebut dicangkul dari salah satu sisi searah hingga menimbulkan timbunan baru. Melakukan lagi kearah kebalikannya, kemudian ditimbun atau dibuat gunungan sebesar lebar terpal penutup. Mendiamkan selama 1 minggu, setelah satu minggu terpal dibuka dan timbunan diaduk untuk tujuan pemberian airasi pada proses pengomposan. Proses pengomposan yang berhasil akan timbul panas dan dapat dirasakan saat pembongkaran gundukan. Perkirakan setelah 3 minggu Kompos sudah bisa dibongkar dan diangin anginkan supaya menghilangkan bau amoniak dan sudah dapat dipakai.

c. Pemanfaatan Teknologi Fermentasi Susu Kambing menjadi Yogurt
Susu kambing mempunyai aroma yang kurang diminati, salah satu cara agar susu tersebut menjadi produk yang mempunyai nilai tambah dan masa simpan yang lebih lama dapat dilakukan fermentasi dengan menggunakan bakteri. Yoghurt adalah produk susu fermentasi berbentuk semi-solid yang dihasilkan melalui proses fermentasi susu dengan menggunakan bakteri asam laktat. Salah satu faktor yang berperan pada kualitas yoghurt adalah fermentasi. Tingkat kemampuan susu kambing untuk bertahan dengan kualitas baik lebih singkat dibandingkan susu sapi, sehingga fermentasi dilakukan untuk memperpanjang ketahanan susu kambing, terutama kandungan mineral dan vitamin yang ada didalamnya. Hasil dari fermentasi susu kambing ini, kini sedang dalam proses uji coba untuk pengobatan. Hasilnya, lima tahun terakhir sejak dikembangkan, telah memberi hasil positif pada penderita diabetes, tekanan darah, asam urat, sembelit, alergi, kolesterol dan osteoporosis. Kandungan mikro bakteri yang ada, juga mampu meningkatkan kekebalan tubuh. Dalam setiap botol kecil berukuran 150 ml, ada ratusan mikro bakteri. Jadi mampu menjadi pelindung dan pengusir bakteri jahat yang masuk di tubuh.

Referensi :
Chairunnisa, Hartati et, all. 2010. Karakteristik Produk Fermentasi dari Bahan Baku Kombinasi Susu Kambing dengan Ekstrak Kedelai, Ekstrak Jagung atau Santan Kelapa. Komunikasi Singkat. J.Teknol dan Industri Pangan Vol. XXI No.1. Universitas Padjajaran.

Eko, Eiry. 2006. Produk Olahan Susu. Penebar Swadaya. Jakarta. 60-63.

Mathius, Wayan. 1994. Potensi dan Pemanfaatan Pupuk Organik Asal Kotoran Kambing-Domba. Balai Penelitian Ternak.
Wartazoa Vol.3 No.2-4. Balai Penelitian Ternak. Bogor.

Muchi, Martawidjaja. 2003. Pemanfaatan Jerami Padi Sebagai Pengganti Rumput untuk ternak Ruminansi Kecil. Wartazoa Vol. 13 No. 3. Balai Penelitian Ternak. Bogor.

Yunilas. 2009. Bioteknologi Jerami Padi Melalui Fermentasi Sebagai Bahan Pakan Ternak Ruminansia. Karya Ilmiah. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara. USU Repository.



BABI, SUMBER BAKTERI YANG MENGALAMI EVOLUSI RESISTEN ANTIBIOTIK

Jurnal Referensi Utama : Oppliger et al,. 2012. Antimicrobial Resistance of
Staphylococcus aureus Strains Acquired by Pig Farmers from Pigs. Appl. Environ. Microbiol. 2012, 78(22):8010.

Peternakan babi dilakukan oleh beberapa kalangan tertentu untuk mendapatkan dagingnya. Babi ada yang diternakkan secara bebas, dibatasi di sekitar ladang, di dalam kandang tradisional, hingga di dalam peternakan pabrik. Sejumlah bakteri berbahaya ditemukan dalam daging babi potong di Amerika Serikat. Sebuah analisis dari majalah Consumer Reports pada Januari 2013, mengungkapkan bahwwa 69% dari sampel daging babi di seluruh AS dinyatakan positif mengandung bakteri Yersinia enterocolitica, bakteri yang menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC) dapat menyebabkan demam, sakit perut dan diare. 7% dari sampel daging babi juga mengandung bakteri berbahaya, seperti Salmonella, Staphylococcus aureus, dan Listeria monocytogenes, yang merupakan penyebab penyakit bawaan makanan.
Selain bakteri yang dapat menyebabkan penyakit secara langsung terhadap manusia, babi juga mengandung bakteri yang resisten terhadap antibiotik. Tingginya cemaran bakteri yang kebal antibiotik pada daging binatang ternak, khususnya daging babi, mengindikasikan parahnya penyalahgunaan antibiotik di industri peternakan.


Bagaimana peternak babi terpapar bakteri resisten antibiotik?
Hasil penelitian Oppliger, et al. (2012) menyebutkan bahwa peternak babi dan dokter hewan memiliki bakteri resisten strain Staphylococcus aureus yang lebih tinggi daripada orang yang tidak pernah mengalami kontak dengan babi. Kontak dengan babi bukan hanya dapat beresiko terkena MRSA (Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus) tetapi juga dapat terkena strain S. aureus yang sensitif terhadap methicillin atau yang dikenal dengan nama Methicillin-susceptible Staphylococcus aureus (MSSA). MSSA ini juga diidentifikasi sebagai resisten terhadap tetrasiklin.

Tingkat resistensi antimikroba antara isolat mikroba pada babi, petani, dan dokter hewan adalah hampir sama. Resistensi antimikroba yang tinggi dari strain S. aureus yang dibawa oleh petani dan dokter hewan jelas terkait dengan fakta bahwa komposisi genotipe S. aureus dari babi dan dari petani yang sangat mirip, mengindikasikan bahwa S. aureus mudah ditularkan dari babi ke manusia yang tetap berhubungan dengan hewan-hewan ini.
Dari hasil penelitian, rute penularan untuk Staphylococcus spp. adalah dengan kontak langsung. Namun, diduga bahwa menghirup udara yang terkontaminasi mungkin memainkan peranan penting, karena Methicillin-susceptible Staphylococcus aureus (MSSA) dan Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) terdeteksi di udara dalam kadang hewan.

Mikroba resisten antibiotik dalam daging babi
Bakteri MRSA adalah bakteri dengan karakteristik yang sulit untuk diobati ketika telah terinfeksi. Bakteri ini berkembang dan resisten terhadap antibiotik golongan beta laktam, termasuk penisilin. Seperti antibiotik beta-laktam lainnya, meticillin bekerja dengan cara menghambat sintesis dinding sel bakteri. Prosesnya menghambat cross-linkage antara rantai polimer peptidoglikan linier yang merupakan pembentuk komponen utama dari dinding sel bakteri Gram-positif. Hal ini terjadi dengan cara pengikatan dan penghambatan secara kompetitif enzim transpeptidase yang digunakan oleh bakteri untuk cross-link peptida (D-alanyl-alanine) dalam sintesis peptidoglikan. Meticillin dan antibiotik beta-laktam lainnya adalah analog struktural dari D-alanyl-alanin, dan yang terikat dengan enzim transpeptidase, dimana ikatan tersebut dikenal dengan penicillin-binding protein.

Mengapa Mikroba dalam daging babi mengalami resitensi?
Peternakan-peternakan besar di seluruh dunia sering menggunakan antibiotik dalam dosis rendah untuk membantu ternak tumbuh lebih cepat dan sehat, namun dengan memberikan makanan yang lebih sedikit. Mereka memberi antibiotik pada pakan ternak dan air yang diberikan pada sapi, ayam dan babi (http://www.voaindonesia.com/content/as-imbau-peternak-hentikan-penggunaan-antibiotika/18318 49.html ). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Barton pada tahun 2000, pemberian antibiotik pada hewan dapat memacu pertumbuhan (Antibiotic Growth Promotors/ AGP) yang mempunyai kontribusi terjadinya resistensi antibiotik baik pada manusia maupun hewan.

Resistensi antibiotik ini dapat terjadi karena beberapa bakteri patogen bisa menghasilkan semacam nitric oxide yang memproduksi enzim yang membuatnya jadi resisten terhadap antibiotik. Antibiotik membuat bakteri memproduksi lebih banyak jenis reaktif oksigen. Hal itu akan merusak DNA dan membuat bakteri tak bisa bertahan, bahkan mati. Nitric oxide dikeluarkan bakteri untuk melindunginya dari oxidatif stress (Nudler dalam jurnal Science). Selain produksi nitric oxide, resistensi antibiotik juga dapat dipicu oleh mutasi dan penambahan resistensi gen (acquation of resistance genes). Pada umumnya, efek dari mutasi tersebut adalah terjadinya modifikasi protein, yaitu terjadinya penurunan afinitas ikatan protein bakteri dengan antibiotik, sehingga antibiotik akan kehilangan kemampuannya untuk membunuh bakteri. Acquation of resistance genes ini dapat terjadi secara spontan dan juga didapatkan dengan cara pertukaran gen secara horizontal yang diransmisi dari plasmid gen yang resisten sehingga memberikan efek resistensi antibiotik terhadap bakteri yang lain. Selanjutnya, bakteri yang kebal itu dengan cepat berkembang biak dan menghasilkan koloni baru dan makin sulit dilumpuhkan.

Upaya untuk mengurangi resiko terjadinya resistensi antibiotika terhadap foodborne bakteri, Uni Eropa telah mengimplementasikan legislasi Directive 70/524 tentang penggunaan antibiotik sebagai feed additive dengan dosis maksimum dan minimum, periode withdrawl sampai penyembelihan. Selain itu, praktik-praktik kebersihan standar peternak babi seperti mencuci tangan setelah setiap kontak dengan babi, dan penggunaan pakaian kerja (piggery spesifik) harus diperkuat, dengan menggunakan alat pelindung diri seperti sarung tangan saat menangani hewan dan masker respirator ketika melakukan kegiatan yang menghasilkan banyak debu.

Prof. Kuswandi dari Universitas Gajah Mada menyatakan bahwa untuk menghancurkan bakteri yang resisten terhadap antibiotik dapat dilakukan dengan membuat vaksin untuk melawan bakteri tersebut. Pada strategi ini, vaksin berisi protein bakteri yang dapat memompa antibiotika keluar dari sel bakteri. Melalui vaksin tersebut, tubuh seseorang akan mengembangkan respon imun terhadap bakteri yang resisten dan akibatnya bakteri akan dihancurkan. Selain itu, strategi penggunaan bakteriofag/virus bakteri, mengisolasi obat dari tanaman serta membuat antibiotika secara sintetik yang terbalik diyakini mampu memperlama munculnya resistensi bakteri.




Referensi :
Anonim. 2012. Penelitian: Babi Bawa Evolusi Bakteri Kebal Antibiotik. http://www.republika.co.id /berita/trendtek/sains/12/02/25/lzw3bj-penelitian-babi-bawa-evolusi-bakteri-kebal-antibiotik.

Anonim. 2014. AS Imbau Peternak Hentikan Penggunaan Antibiotika. http://www.voaindonesia. com/content/as-imbau-peternak-hentikan-penggunaan-antibiotika/1831849.html

BARTON, M.D. 2000. Antibiotic use in animal feed and its impact on human health. Nutrition Research Reviews. 13 (2): 1-19.

Nurani, Niken. 2012. Waspada, banyak bakteri berbahaya di daging babi. http://health. okezone.com/read/2012/11/29/482/724873/waspada-banyak-bakteri-berbahaya-di-daging-babi .

Oppliger, et al. 2012. Antimicrobial Resistance of Staphylococcus aureus Strains Acquired by Pig Farmers from Pigs. Appl. Environ. Microbiol. 2012, 78(22) : 8010.

UGM, Portal. 2011. Prof. Kuswandi : Resistensi Bakteri terhadap Antibiotika Kian Meningkat. http://farmasi.ugm.ac.id/berita-149-prof-kuswandi--resistensi-bakteri-terhadap-antibiotika-kian-meningkat.html



Review : SELEKSI, SCALE UP DAN SISTEM OPERASI BIOREAKTOR

Ringkasan : Untuk dapat meningkatkan produk dari Bioreactor diperlukan adanya proses scale-up yaitu peningkatan skala produksi. Untuk menunjang proses scale-up ini maka perlu dilakukan proses seleksi terhadap bioreactor yang tepat untuk menunjang proses ini. Setelah proses seleksi bioreactor yang tepat selesai maka sistem operasi untuk bioreactor ini harus di optimasi.


Arahan :
a. Mengapa performa dari kultur fungi dalam pembuatan Antibiotik sangatlah berbeda pada perbandingan 10.000:1 dengan 10:1?
b. Bagaimana memindahkan skala produksi laboratorium ke skala industr?
c. Bagaimana proses seleksi bioreactor yang dilakukan?
d. Bagaimana proses optimasi yang dilakukan?

SELEKSI (PEMILIHAN) BIOREAKTOR
Pada awalnya mungkin akan sulit memahami mengapa performa kultur fungi pada skala 10.000:1 sangatlah berbeda dengan pada skala 10: 1. Jawabannya adalah tergantung dari bagaimana kita mengatur homogenitas kultur, perubahan pada perbandingan luas permukaan dan perubahan kultur itu sendiri selama pertumbuhannya pada skala yang lebih besar. Proses pemilihan dari bioreactor yang akan kita pakai dalam menumbuhkan mikroorganisme akan sangat penting untuk hal ini.

Jenis-jenis bioreactor dengan fungsi dasar, yaitu:
a. Reactor, dengan pengadukan internal secara mekanik.
b. Bubble Columns, yang mengadalkan masuknya gas ke dalam cairan.
c. Loop reactor, dimana pencampuran dan sirkulasi cairan diinduksi oleh gerakan injeksi gas atau oleh pompa mekanik atau kombinasi keduanya.

Bentuk umum dari persamaan matematika dari permodelan bioproses adalah sebagai berikut:
Local change in the reaction volume = local infloe-outflow (convective transport) – local inflow-outflow (diffusive transport)

Sementara variabel-variabel dari permodelan, yaitu:
1. Input variables (misal: laju alir)
2. Output variables (misal: tingkat penyerapan oksigen)
3. State variables (misal: konsentrasi)

Selain pemilihan struktur model yang benar, data eksperimen/percobaan kuantitatif yang tepat dengan menentukan parameter model sangat dibutuhkan dalam permodelan matematika pada bioproses.

Struktur dan Operasi Pabrik Bioproses

Secara umum, garis produksi pada industri bioproses dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu:
1. Pembuatan dan Pengolahan Bahan Baku
Sumber energi primer seperti uap dan udara bertekanan diubah menjadi energi proses. Proses produksi dimulai dari pembersihan/sterilisasi reaktor, mengisi reaktor dengan substrat, dan inokulasi dengan proses prakultur.
2. Kultivasi
Asumsikan pada proses batch, ketika konsentrasi sel dalam reaktor telah mencapai pada kondisi optimum, kaldu fermentasi diinokulasi untuk tahap selanjutnya.
3. Proses Kultivasi Medium pada Sektor Downstream
Terdapat banyak proses dan cara pengolahan, tergantung dari sifat dan jenis produk seperti apa yang diinginkan. Seringkali bahan baku dimodifikasi menggunakan bahan kimia tertentu untuk mendapatkan produk akhir dengan sifat tertentu.

JENIS DAN STRUKTUR BIOREAKTOR
Di dalam biorekator, harus lah menyediakan lingkungan fisika dan kimia yang sesuai, misalnya kondisi pH, suhu, konsentrasi substrat, dan memastikan kecepatan transportasi yang optimum dari substrat dan produk. Tujuan dari desain bioreaktor adalah untuk memberikan pencampuran yang baik untuk menghasilkan tingkat reaktan terlarut dan suhu yang tidak terlalu tinggi.

1.Stirred Tank Reactor sebagai contoh reaktor dengan masukan berupa energi mekanik
Biasa digunakan dalam proses pencampuran larutan ideal. Namun kerugian menggunakan jenis reaktor ini adalah daerah basis yang besar, dapat terjadinya pusaran air dan tegangan muka yang tinggi di dekat impeller/pengaduk.

2.Reaktor dengan masukan energi berupa udara bertekanan
Penggunaan energi udara terkompresi sebagai masukan daya yang paling efektif untuk reaktor yang sangat besar dengan volum mencapai 500 m3. Kenuntungan yang diperoleh adalah daerah basis yang rendah, desain sederhana, dan untuk pencampuran hanya membutuhkan energi yang tidak terlalu besar.

3.Mode Pengoperasian Bioreaktor bergantung pada arus medium atau atau reaktor dan pasokan oksigen
Terdiri atas :
1.Batch Cultivation
Tidak ada pertukaran medium cair, semua substrat sudah terdapat dalam meduim dari awal.
2.Fed-Batch Cultivation
Digunakan ketika konsentrasi substrat harus tetap rendah untuk pertumbuhan atau pembentukan produk yang optimal. Komponen substrat harus selalu diumpankan ke dalam reaktor hingga pada kondisi tertentu.
3.Continuous Cultivation
Ada arus masuk permanen untuk substrat dan arus keluar untuk medium, termasuk sel dari reaktor. Biasanya aliran masuk dan keluar ememiliki kecepatan dan volum yang sama.
4.Cultivation with Cell Retention
Sel diambil dari reaktor bersamaan dengan medium dan produktivitas dapat ditingkatkan dengan menjaga biokatalis (enzim) di dalam reaktor.
5.Repeated or Cyclic Batch or Fed-Batch Cultivation
Dengan metode ini, produktivitas meningkat karena interval waktu tidak produktif dikurangi dan rata-rata konsentrasi sel dapat lebih tinggi dibandingkan dengan Batch Reactor.
6.Aerobic Processes
Bioreaktor disuplai dengan udara yang sudah dilengkapi dengan oksigen murni untuk memenuhi kebutuhan sel.
7.Anaerobic Processes
Desain reaktor ini dimanfaatkan untuk sel anaerob dimana oksigen merupakan racun, sehingga sebisa mungkin tidak ada kandungan oksigen di dalam reaktor. Gas yang biasa digunakan adalah karbondioksida (CO2).
8.Micro-Aerobic Processes
Digunakan untuk sel yang dapat mentolerir keberadaan oksigen, namun dengan konsentrasi yang sangat rendah. Tingkat aerasi, kecepatan pengadukan, dan konsentrasi oksigan harus sangat dikontrol.

SUMBER :
Bioprocess Engineering: Basic Concepts (2nd Edition)
November 10, 2001
by Michael L. Shuler (Author), Fikret Kargi (Author)


MERANCANG (DESAIN) PRIMER UNTUK PROSES PCR

PCR (Polymerase Chain Reaction) adalah teknik untuk melipat gandakan DNA dalam biologi molekuler dengan tujuan untuk diidentifikasi, manipulasi atau untuk keperluan forensik, diagnosis virus penyakit dan sebagainya. Spesifisitas dan efisiensi PCR amat ditentukan oleh kualitas primer yang digunakan.
Desain primer yang baik sangat penting untuk keberhasilan reaksi PCR. Pertimbangan desain yang penting untuk amplifikasi DNA spesifik untuk produk PCR tinggi:
1. Panjang Primer :
Hal ini secara umum diterima bahwa panjang optimal primer PCR adalah 18-22 mer (basa).

2. Primer Melting Temperature:
Primer Melting Temperature (Tm) merupakan temperatur yang diperlukan oleh separoh primer dupleks mengalamai disosiasi/lepas ikatan. Primer dengan Tm berkisar antara 52-58 oC sangat ideal, sedangkan Tm diatas 65oC akan mengurangi efektifitas anelaing sehingga proses amplifikasi DNA kurang berjalan baik. Tm ini sangat ditentukan oleh jumlah basa GC (GC contains).
Tm primer dapat dihitung dengan formula:
A. Tm (oC) = ((G+C) x4) + ((A+T) x2))……….secara kasar (kurang akurat)
B. Tm(oC) = {ΔH/ ΔS + R ln(C)} - 273.15……..secara akurat

3.Primer annealing temperature :
Primer annealing temperature (Ta) merupakan suhu yang diperkirakan primer dapat berikatan dengan template (DNA) dengan stabil (DNA-DNA hybrid stability). Jika suhu aneling tinggi akan menyulitkan terjadinaya iktan primer dengan DNA template sehingga akan menghasilkan produk PCR yang rendah(kurang efisien). Namun jika Ta terlalu rendah akan menyebabkan terjasinya penempelan primer pada DNA templat yang tidak spesifik. Ta dapat dihitung dengan menggunakan formula di bawah ini:
Ta = 0.3 x Tm(primer) + 0.7 Tm (product) – 14.9
Tm(primer) = Tm primer
Tm(product) = Tm produk PCR

4. GC Content :
Jumlah Basa G dan C (GC content) di dalam primer yang ideal sekitar 40-60%.

5. GC Clamp :
Jumlah basa G dan C yang terdapat pada 5 basa terakhir (3’) disebut dengan GC clamp. GC clamp yang baik sekitar 3 basa G/C dan tidan melebihi 5 basa G/C. keberadaan G/C di ujung 3’ primer sangat membantu terjadinya stabilitas iktan antara primer dengan DNA templat yang diperlukan untuk inisiasi polymerase DNA (proses PCR).

6. Primer Secondary Structures :
Hairpins : terbentuknya struktur loop/hairpin pada primer sebaiknya dihindari, namun sangat sulit untuk memperoleh primer tanpa memiliki struktur hairpin. Hairpin pada ujung 3' dengan ΔG(energy yang dipelukan untuk memecah struktur hairpin) = -2 kcal/mol dan hairpin internal dengan ΔG = -3 kcal/mol masih dapat ditoleransi.

LANGKAH - LANGKAH MERANCANG PRIMER :

1. MEMAHAMI TUJUAN PCR SAAT MERANCANG PRIMER
Apa yang menjadi tujuan PCR? apakah untuk mengamplifikasi gen universal seperti gen 16S ribosomal RNA bakteri, mendeteksi keberadaan suatu virus penyakit tertentu, Walking primer untuk analisa DNA sequencing fragment yang panjang, atau untuk tujuan lainnya.

2. MENCARI SEKUEN REFERENSI AKAN TARGET SEKUEN YANG AKAN DIAMPLIFIKASI
Misalkan target amplifikasi adalah virus TMV, maka kita mengumpulkan data sekuen TMV sebagai referensi. Usahakan agar pencarian kita lebih spesifik dengan cara menentukan gen targetnya. Kita bisa mencari sekuen referensi dari database GenBank di situs NCBI (www.ncbi.nlm.nih.gov/). Ketikkan “Tobacco Mosaic Virus” sebagai kata kunci pencarian.

3. MELAKUKAN ALIGNMENT
Alignment dilakukan pada beberapa sekuen referensi untuk mendapatkan region konsensus, sehingga primer PCR tetap dapat mengamplifikasi pada beberapa variasi genetik pada beberapa spesies yang berbeda.
Software yang digunakan ClustlX/W di situs www.clustal.org/

4. MEMILIH SOFTWARE YANG AKAN DIGUNAKAN UNTUK MERANCANG PRIMER
Beberapa situs untuk merancang primer :
a.Primer3Plus di situs http://www.bioinformatics.nl/cgi-bin/primer3plus/primer3plus.cgi/
b.PrimerBlast di situs http://www.ncbi.nlm.nih.gov/tools/primer-blast/